Monday 25 January 2016

Kelas Kerendah hatian

Sepertinya, setelah lulus mata kuliah "berserah", di universitas Life, nextnya aku masuk ke kelas "kerendah-hatian". 

Sebetulnya, malu sih nulis ini, tapi rasanya sebagai bagian dari project rendah hati, aku tulis aja deh.

Jadi gini. Dari kecil aku ini sering dapat pujian. Bahwa aku cantik, bule banget, putih banget, pinter banget, cerdas, tangguh, hebat, kuat, banyak banget lah. Kemanapun aku pergi, orang-orang pasti inget sama aku, dan aku nggak pernah inget semua orang yang pernah ketemu aku. Parah. Aku tau.

Tapi akhir-akhir ini, semuanya hilang atau seakan-akan doesn't matter. Kecantikan aku perlahan-lahan kayanya pudar. Tiap pagi, aku nemu kerutan kok ya jadi banyak banget. Sekitar jidat aku warnanya belang-belang. Biar dari dulu punya freckles, tapi sekarang kok muncul titik-titik hitam baru. Belom, walau segala usaha udah dilakukan, ini kulit makin lama kok makin kendorrrr banget! Sebel!

Berkat beautyplus app, tiap foto aku di ig bisa disulap. Kerutan hilang, warna kulit yang tadinya belang jadi engga, titik-titik hitam juga nggak ada. Jadi keliatan forever 22 deh. 

Itu baru soal beauty. Makin kesini, aku merasa makin bego. Segala hal tentang dunia, yang by instinc dulu bisa aku rasain, sekarang udah nggak lagi. Kaya, gimana bisa bikin the market want whatever it is that i make or sell. Dulu semua gampang. Sekarang, i don't know shit about anything. Dulu aku by instinc tau gimana bikin kue yang enak. Sekarang? Gila. Jangan suruh aku bikin apapun juga. Dapur itu bukan planet aku banget. Emang banyak orang yang nggak bisa masak. Tapi aku? *sigh* Gini deh. Beberapa hari lalu, aku mau bikinin anak-anakku masker rambut dari bahan-bahan alami. Salah satu bahannya minyak kemiri. Ya udah, kan beli kemiri. Googling & nonton video youtube cara bikin minyak kemiri. Terus, jadinya bukan minyak kemiri. Jadinya : bubur ovomaltin kemiri mix almond crispy. Ajaib? Emang. Apalagi rasanya. 

Pengalaman lain nih, biasanya kalau aku ke supermarket, atau salon, atau apa aja deh. Biar jarang juga, kalo aku balik pasti pada inget. Sekarang? Aku punya salon langganan di Senayan City. Bisa dibilang aku 3 hari sekali kesitu. Tapi tiap aku datang, si mba resepsionis ga pernah inget aku. Lebih parah lagi, sekarang ini aku sedang duduk, ngecet rambut berubanku sama stylist yang megang aku beberapa hari lalu. Dia yang nyaranin aku ngecat, kita bikin janji, dan hari ini, pas aku dateng, dia nggak ngenalin aku sama sekali. Zzz. 

Buat orang yang dikit-dikit dapet pujian kaya aku, becoming faceless, bego, tua, dan nggak cantik lagi itu susah banget buat ditelen. 

Pernah pas aku udah punya andrew, suatu hari main ke almamater. Biasa kan, suka kangen makanan kampus. Terus baru masuk area kantin sama adik iparku (beda umur 7th), tiba-tiba segerombolan temen-temennya bilang, "Buset pop, siapa tuh, punya temen kaya gitu nggak dikenalin." Aku terbiasa banget dapat reaksi begitu. Jadi yang kayak gitu aku rasa normal. Seneng pasti, tapi normal. Sekarang? Ya kaya cerita saon tadi. Aku jadi ngerasa aneh pas orang... Boro-boro muji, ngeh aku aja engga. 

Oke, ini aku belom main fisik. Eh maksudnya belom main body. I mean, inget jinggle iklan scott emulsion ngga? yang, "bajuku dulu tak begini...(tapi kini tak cukup lagi)." Diotak aku, kelanjutannya lebih memilukan, "kupintar, kubesar, tambah lebarrrr.." Oke lagunya scotts nggak bilang tambah lebar, tapi... Ah ya sudahlah. *sedihdipojokan*

Makanya aku bilang, aku sedang masuk kelas kerendah-hatian. Belajar nerima keanehan yang baru ini. Sulit. Abis, terus terang, pujian-pujian ini bikin aku merasa penting. They make me feel accepted, and mattered. Karena selama ini pujian yang aku terima bukan cuma soal fisik, tapi juga otak aku, bakat aku, semua hal, yang kayanya mau nggak mau, ngebentuk identitas aku. 

Ih ternyata bener ya? Pujian atau celaan itu beneran ngefek sama cara kita memandang diri sendiri, kalau kita biarin masuk ke kepala kita. It somehow shaped my self-concept. 

Bukan itu aja si, walau aku cenderung nggak look down on people, cuma kadang-kadang kok ya, pikiran dalam hati suka songong sama orang yang mmm melakukan hal-hal yang aku nggak seneng. Misal nih, si mba yang lagi ngerjain rambut ini bawel banget nyuruh aku potong rambut. Karena abis di color, aku bilang, "ya udah, trim ujungnya aja ya." Taunya, dipotong lumayan pendek. Trus aku protes dong. Dia jawab,"abis rambutnya kering banget.". Ugh, aku kesel tapi diem aja. Cuma dalam hati mikir,"Nah itu rambut lo panjangnya sepinggang, udah gitu dari jarak 2 meter aja gue bisa liat rambut lo cerigis and bercabang setengah mati. Punya rambut kaya gitu kok berani-beraninya nyela rambut gue yang lebih kena perawatan kerastase tiap bulan!". Abis mikir gitu, langsung nggak enak hati. Kok mikir gitu sih, belagu amat! 

Yah, ini pelajaran buat aku. Biar lebih rendah hati lagi. Aku merasa dengan nggak di-notice kaya sekarang, atau lebih sering diceramahin sama orang, aku jadi harus banyak melatih diri untuk cuek aja. Plus, ada satu hal yang menggelitik otak. Kalau seandainya apa yang aku kerjain nggak di-notice orang, dalam arti, ga direspon orang dengan baik atau sama sekali, "Do i dare, to do things just because it makes me happy?"
Kalau misal aku mau bikin buku atau usaha kedua, ketiga, dan seterusnya cuma untuk nyenengin diri sendiri dan nggak mikirin itu bakal laku apa engga, aku bakal bikin apa?"

What will i do, when i don't do it to receive acknowledgment or praise or money? 

That, worth to find out. 











Saturday 23 January 2016

Stop Kepo & Rasisme & Nontoleransi

Waktu aku SD, Bhineka Tunggal Ika tuh kaya keramat banget. Gotong royong dan toleransi antar suku, agama, ras, dan golongan semuanya ditekankan banget dimana-mana. Di sekolah, di rumah, di lingkungan RT, dll. Lalu bertahun-tahun kemudian, suara-suara toleran ini jadi senyap. 

Semua terasa berubah sejak tragedi penjarahan dan pemerkosaan etnis tionghoa. Terus terang setiap mengingat kejadian ini aku sedih banget. Saat itu, aku tinggal di rumah oma, ibunya mamaku, di radio dalam. Pagi itu, ada keluarga tionghoa di depan rumah oma, datang dan memohon perlindungan. Sambil menangis, sang ayah bilang, "Tolong kami ibu, kami takut ada di rumah." Oma dan seluruh keluarga mama adalah keluarga muslim, dan oma bilang, "Iya, disini aja dulu." Beberapa jam kemudian, massa entah dari mana, merusak semua ruko-ruko yang mereka curigai dimiliki etnis Tionghoa. Rumah oma ada di kompleks angkatan laut, dan di seberangnya terdapat ruko-ruko. Ruko-ruko tersebut dirusak oleh mereka, kecuali yang ditempeli sajadah atau dipintunya ada tulisan, "pribumi muslim."

Melihat itu, keluarga kami sangat geram. Geram karena seluruh keluarga dari pihak mama adalah pribumi dan muslim. Semua malu dengan siapapun oknum yang menghasut (atau membayar) masa sehingga jadi seperti ini. Malu dan marah, tapi nggak tau mau marah sama siapa.

Tragedi ini terjadi selama 3 hari. Hari minggu kira-kira seminggu setelah kejadian ini, aku mendengar kesaksian 2 orang korban di gereja. Kesaksian yang hampir tidak bisa aku mengerti karena para korban bersaksi sambil menangis. Kami segereja, tidak mengerti apa yang mereka sampaikan, tetapi kami menangis juga. Pilu. 

Bertahun-tahun setelah ini, mulai kedengaran golongan-golongan radikal bermunculan. Kotbah-kotbah rasis di masjid-masjid, penyerangangan ahmadiah, penyerangan terhadap umat baik muslim dan nasrani yang akan atau sedang beribadah (tergantung dimana mereka minoritas), pelarangan pendirian rumah-rumah ibadah, selebaran dan koran hitam, penghasutan, generalisasi, stereotyping, hate crime, terorisme, dan daftar ini makin panjang.

Sebenarnya banyak orang Indonesia yang toleran, malah menurut aku, yang toleran itu justru mayoritas. Sayangnya yang mayoritas ini cenderung bungkam. Bukan karena nggak peduli, tapi karena males debat sama orang-orang gila atau berpikiran sempit. Terus terang, aku termasuk salah satunya. 

Setelah aku pikir-pikir, kayanya kita sudah terlalu lama bungkam. Terlalu lama membiarkan extrimis bertindak melawan perikemanusiaan, seenak jidat menyebarkan pesan-pesan kebencian, dengan bebas berkomen rasis / menghina suku, agama, ras, dan antar golongan. Terlalu lama semua ini kita biarkan. Terlalu lama alasan sudah mendarah daging kita maklumkan.

Kayanya sudah cukup ah. Mulai sekarang, kalau aku lihat atau dengar komen-komen yang menghina dan berisi kebencian tentang S.A.R.A akan aku screen capture / rekam, lalu aku laporin ke pihak yang berwajib. Cyber police kek, komnas ham kek, report abuse kek, pokoknya ga deh ngebiarin hate comments anymore. Malu.  If i have to, aku akan ngelaporin golonganku sendiri kalau bikin statement yang ngundang ribut antar suku, agama, ras dan golongan. Bukannya apa, gerah. Udah gitu kalo diem kok kesannya kayak setuju sama pendapat dan kelakuan mereka. Well, aku nggak setuju. Aku menolak disamain sama mereka dan sudah waktunya kita stop membiarkan kaum ektrim yang sebenernya minoritas ini berisik melulu. Mereka ganggu. 

Satu hal lagi. Kayanya juga kita perlu stop kepo, stop ngurusin hidup dan pilihan orang lain, stop nyela/nyindir/nyinyir pilihan hidup orang. Biar gimanapun, kita semua manusia biasa. Bisa sedih kita kalo ditegur atau dicela dimuka umum. Belum lagi, media sosial bisa diakses sama keluarga orang yang kita tegur/omongin/cela/dll. Cuma dengan beberapa kalimat aja, kita udah mempermalukan/menghina orang yang kita tuju beserta orang tua, anak, keluarga dan teman-temannya. Jahat banget kan? Kaya kita nggak punya salah/kekurangan aja, sampe merasa berhak negur/ngomongin orang di depan umum.

Ada pepatah: "We get what we tolerate." Dan ini bener banget dalam segala hal. Saat kita mentoleransi sikap-sikap radikal, yang kita dapet ya kelompok radikal jadi marak. Saat kita mentoleransi komen-komen yang negatif, kita mengundang negativity dalam hidup kita, keluarga kita, dan semua folower atau orang yang ada di lingkaran media sosial kita.

Nggak lagi, nggak lagi. Untuk alasan apapun. Stop. Enough is enough.






Saturday 16 January 2016

Epic

You know, if i were to write my second book about my business' journey, it will probably worth to be made into a movie. Everything was so dramatic and the story sounded too much like the plot of a hollywood movie. Well, they would probably have to add a little action scene, but that's about it.

If you have been following my blog, then you will know about the tax problem that crippled me emotionally the entire 2015. But what i did not tell you, there was another matter that was going on from 2014-2015. Yes, the same timeline. I could not talk about it because it was an ongoing case that we tried to pursue legally. Since the case involved so many people, i still can't discuss that elaborately.

In short, somebody ran away with our money. It was a large sum. Well, at least to us. We lawyered up and pursue the matter the right way. Legally. It went on for a year. The people who did this didn't budge. Even though they ran away with so many people's money, not just ours.

In our country, you know you could not do much when you don't have the money and connections to sue people. I did not give up though. I went out, reached out to people who was fooled by them too. I asked them to consider suing together. But, i did not succeed. Largely because the damages that was caused by the embezzler was so big, to the companies that i met, everybody just did not have the money to fund these legal matters. Everybody was just trying to stay afloat, plus, last year the economy was so bad and everybody was under the Dirjen Pajak's scrutiny.

I thought for the entire year, why things were so unfair. Why do people like me got attacked so much, from so many angles? Why the big guys who has lots of money don't? Why do they have to run away with my hard earned money? I have so much less than bankers, entrepreneurs who owns so much, people who works at oil companies, yet i have to experience all this.

A lot of people, told me to let go. For the entire year, i can't. Because, i felt that everything was just so unfair, plus i needed the money to pay taxes. But then, i made my self busy. Thinking about other things, focusing on charity work, and then i just let it go.

Last night, my husband went to see one of his best friends. During this time, as usual, men talk about business, and his best friend told him, that he heard the person who embezzled our money is in jail right now. Apparently, he went away with 2 big boys' money. I say big boys, because they are two of the most successful, richest, and powerful men in our country. The embezzler was said, had ran away with hundreds of Milyar Rupiah of their money. At first, the Big Boys gave the embezzler time to pay, but the embezzler said they have no money. For a while it was quiet, or at least that's what we all thought. But then, the embezzler posted a photo of a Ferrari and that they are now in Los Angeles. That photo made the Big Boys mad. Then somehow they managed to drag the embezzler back to our country and put the embezzler in jail. It is heard that the embezzler's life was made to be more difficult in prison.

See, i told you it sounded like a movie. If it's made into a script, i say, we only need to add a little fast and furious car chasing scene, and a little happy ending for us, then the end.

Time and time again, when people wronged us, we wanted justice, or worse, revenge. I kept forgetting that, the people who wronged me in the past, did had to face some sort of consequence of their actions. Most of the time, these consequences came to them years after they hurt me and came back to them because of their own doing or somebody else was giving them the "lesson" that i wanted to give give them back when i was still feeling the hurt.

I should have known, that's not the way my life works. Lessons, revenge, or consequences are not my rights. Never were, never will. They are God's. They will due, when God say it is. Not when i say it is. I do however have the responsibility to my self, to form the kind of person and life that i wanted. I don't want my life to be just about being angry over the unfairness of the whole thing. I don't want to occupy my focus on how i can give these people lessons that they deserve. It's too draining.

What a start to a new year. I must admit, knowing the embezzler are in prison does gave me closure. Relieved. I don't know if i ever going to see the money, but i believe, whatever happens, God will take good care of us, like always.