Saturday 23 January 2016

Stop Kepo & Rasisme & Nontoleransi

Waktu aku SD, Bhineka Tunggal Ika tuh kaya keramat banget. Gotong royong dan toleransi antar suku, agama, ras, dan golongan semuanya ditekankan banget dimana-mana. Di sekolah, di rumah, di lingkungan RT, dll. Lalu bertahun-tahun kemudian, suara-suara toleran ini jadi senyap. 

Semua terasa berubah sejak tragedi penjarahan dan pemerkosaan etnis tionghoa. Terus terang setiap mengingat kejadian ini aku sedih banget. Saat itu, aku tinggal di rumah oma, ibunya mamaku, di radio dalam. Pagi itu, ada keluarga tionghoa di depan rumah oma, datang dan memohon perlindungan. Sambil menangis, sang ayah bilang, "Tolong kami ibu, kami takut ada di rumah." Oma dan seluruh keluarga mama adalah keluarga muslim, dan oma bilang, "Iya, disini aja dulu." Beberapa jam kemudian, massa entah dari mana, merusak semua ruko-ruko yang mereka curigai dimiliki etnis Tionghoa. Rumah oma ada di kompleks angkatan laut, dan di seberangnya terdapat ruko-ruko. Ruko-ruko tersebut dirusak oleh mereka, kecuali yang ditempeli sajadah atau dipintunya ada tulisan, "pribumi muslim."

Melihat itu, keluarga kami sangat geram. Geram karena seluruh keluarga dari pihak mama adalah pribumi dan muslim. Semua malu dengan siapapun oknum yang menghasut (atau membayar) masa sehingga jadi seperti ini. Malu dan marah, tapi nggak tau mau marah sama siapa.

Tragedi ini terjadi selama 3 hari. Hari minggu kira-kira seminggu setelah kejadian ini, aku mendengar kesaksian 2 orang korban di gereja. Kesaksian yang hampir tidak bisa aku mengerti karena para korban bersaksi sambil menangis. Kami segereja, tidak mengerti apa yang mereka sampaikan, tetapi kami menangis juga. Pilu. 

Bertahun-tahun setelah ini, mulai kedengaran golongan-golongan radikal bermunculan. Kotbah-kotbah rasis di masjid-masjid, penyerangangan ahmadiah, penyerangan terhadap umat baik muslim dan nasrani yang akan atau sedang beribadah (tergantung dimana mereka minoritas), pelarangan pendirian rumah-rumah ibadah, selebaran dan koran hitam, penghasutan, generalisasi, stereotyping, hate crime, terorisme, dan daftar ini makin panjang.

Sebenarnya banyak orang Indonesia yang toleran, malah menurut aku, yang toleran itu justru mayoritas. Sayangnya yang mayoritas ini cenderung bungkam. Bukan karena nggak peduli, tapi karena males debat sama orang-orang gila atau berpikiran sempit. Terus terang, aku termasuk salah satunya. 

Setelah aku pikir-pikir, kayanya kita sudah terlalu lama bungkam. Terlalu lama membiarkan extrimis bertindak melawan perikemanusiaan, seenak jidat menyebarkan pesan-pesan kebencian, dengan bebas berkomen rasis / menghina suku, agama, ras, dan antar golongan. Terlalu lama semua ini kita biarkan. Terlalu lama alasan sudah mendarah daging kita maklumkan.

Kayanya sudah cukup ah. Mulai sekarang, kalau aku lihat atau dengar komen-komen yang menghina dan berisi kebencian tentang S.A.R.A akan aku screen capture / rekam, lalu aku laporin ke pihak yang berwajib. Cyber police kek, komnas ham kek, report abuse kek, pokoknya ga deh ngebiarin hate comments anymore. Malu.  If i have to, aku akan ngelaporin golonganku sendiri kalau bikin statement yang ngundang ribut antar suku, agama, ras dan golongan. Bukannya apa, gerah. Udah gitu kalo diem kok kesannya kayak setuju sama pendapat dan kelakuan mereka. Well, aku nggak setuju. Aku menolak disamain sama mereka dan sudah waktunya kita stop membiarkan kaum ektrim yang sebenernya minoritas ini berisik melulu. Mereka ganggu. 

Satu hal lagi. Kayanya juga kita perlu stop kepo, stop ngurusin hidup dan pilihan orang lain, stop nyela/nyindir/nyinyir pilihan hidup orang. Biar gimanapun, kita semua manusia biasa. Bisa sedih kita kalo ditegur atau dicela dimuka umum. Belum lagi, media sosial bisa diakses sama keluarga orang yang kita tegur/omongin/cela/dll. Cuma dengan beberapa kalimat aja, kita udah mempermalukan/menghina orang yang kita tuju beserta orang tua, anak, keluarga dan teman-temannya. Jahat banget kan? Kaya kita nggak punya salah/kekurangan aja, sampe merasa berhak negur/ngomongin orang di depan umum.

Ada pepatah: "We get what we tolerate." Dan ini bener banget dalam segala hal. Saat kita mentoleransi sikap-sikap radikal, yang kita dapet ya kelompok radikal jadi marak. Saat kita mentoleransi komen-komen yang negatif, kita mengundang negativity dalam hidup kita, keluarga kita, dan semua folower atau orang yang ada di lingkaran media sosial kita.

Nggak lagi, nggak lagi. Untuk alasan apapun. Stop. Enough is enough.






5 comments:

  1. Mbak Nina, tulisannya bagus banget dan inspiratif. Terima kasih sudah menuliskan ini dan sharing di blognya :)

    ReplyDelete
  2. mba nina.. ijin share tulisan ini yaa.. inspiratif banget. aq pun selama ini cenderung menghindar. klo ada temen yg "aneh-aneh" aq milih melipir menjauh kalo bisa unfollow - unfriend di sosial media. tapi lama - lama koq mereka semakin menjadi anehnya. semoga tulisan mba bisa menginspirasi lebih banyak orang ya mba... sukses terus... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Anin, silakan. Mohon kasih link ke post ini ya, thank you 🙏🏻

      Delete
  3. Aku sekarang ga segan2 report kalo ada postingan yg kesannya menyebarkan kebencian. Tp kalo hanya sekedar nyinyir langsung unfriend aja.

    ReplyDelete